Al-Allamah Al-Arifbillah Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf lahir di Seiyun, Hadramaut pada tahun 1331 H / 1911 M. Sekarang beliau tinggal di Jeddah, Arab Saudi dan saat ini menjadi rujukan penting bagi Ahlussunnah Waljamaah.

Nasab beliau yang mulia

Beliau adalah Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bin ëAbdurrahman bin ëAli bin ëUmar bin Saqqaf bin Muhammad bin ëUmar bin Thoha as-Saqqaf. dan terus bersambung nasabnya hingga sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Kelahiran beliau

Beliu dilahirkan di kota Sewun, Hadramaut, pada bulan Jumadil Akhir Tahun 1331 H. Beliau dibesarkan oleh kedua orangtuanya yang sholeh sehingga sejak kecil beliau telah dihiasi dengan hidayah dan ketakwaan.

Kedua orangtua beliau

Ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf, adalah seorang imam yang dihiasi dengan keindahan budi pekerti yang luhur ilmu yang luas dan amal yang soleh. Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi pernah
berkata bahwa Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman adalah Imam Wadil Ahqof (Hadramaut).

Ibu beliau adalah As-Syarifah Alawiyah binti Al-Habib Ahmad bin Muhammad Aljufri. Beliau adalah seorang wanita yang sholihah dan suka pada kebajikan. Ketika ibu beliau sedang mengandung dan melahirkan bayi laki-laki, bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir atas isyarat dari Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, tetapi tidak lama kemudian bayi tersebut meniggal dunia. Ketika As-Syarifah Alawiyah melahirkan bayi laki-laki untuk yang kedua kalinya, Al-Habib Ali juga mengisyaratkan agar bayi tersebut diberi nama Abdul Qodir. Al-Habib
Ali mengatakan bahwa bayi ini kelak akan menjadi orang yang mulia yang mengabdikan hidupnya untuk taat kepada Allah dan menjadi seorang yang dihiasi dengan ilmu, amal dan ihsan.

As-Syarifah Alawiyah meninggal dunia pada tanggal 29 Rajab 1378 H bersamaan dengan hari wafatnya Al-Habib Salim bin Hafidh Bin Syekh
Abubakar bin Salim (kakek dari Al-Habib Umar Bin Hafidh). Sedangkan Al-Habib Ahmad (ayah dari Al-Habib Abdul Qodir) meninggal dunia pada
sore hari, Sabtu, tanggal 4 Muharram 1357 H, setelah menunaikan shalat ashar pada usia 79 tahun, sedangkan Al-Habib Abdul Qodir saat itu baru
berusia 25 tahun.

Ayahandanya, Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf, seorang ulama terkemuka di Hadramaut, yang kemudian menggantikan kedudukan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, setelah penyusun Simtud Duror itu wafat. Sedangkan ibundanya, Syarifah Alwiyah binti Ahmad Aljufri, wanita salihah yang dermawan. Dan guru beliau, al-Habib ëAli bin Muhammad al-Habsyi pernah berkata: Al-Habib Ahmad bin ëAbdurrahman adalah Imam Wadi al-Ahqaf (Hadhramaut). Ayahanda beliau wafat setelah menunaikan sholat ëasar, petang hari Sabtu, 4 Muharram 1357. Manakala ibunda beliau wafat pada 23 Rajab 1378 yaitu bersamaan dengan hari wafatnnya al-Habib Salim bin Hafidz bin ëAbdullah, kakek al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz.

Masa kecil beliau

Sejak kecil beliau tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu pengetahuan, ibadah dan akhlak yang tinggi yang ditanamkan dan sekaligus icontohkan oleh ayah beliau yang sholeh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf. Dan memang demikianlah keadaan kebanyakan keluarga-keluarga Alawiyin di Hadramaut pada masa itu. Keadaan ini sangat mendukung para orangtua untuk mencetak kader-kader ulama dan shulahaí (orang-orang baik) karena anak-anak disana pada masa itu selain dididik oleh orang tua, lingkungan juga ikut membentuk mereka.

Keikhlasan dan kebersihan hati menjadi hiasan penduduk disana kala itu. Mereka tidak terkontaminasi dengan budaya dan berbagai macam paham dari luar . Setiap anak meneladani ayahnya dan ayah meneladani kakeknya. Demikianlah seterusnya sehingga asror mereka terwariskan kepada anak cucunya.

Ketika usia Al-Habib Abdul Qodir sudah cukup dan telah tampak kesungguhan niat beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau mulai mengikuti pendidikan di luar rumah, karena selama ini beliau hanya belajar dengan ayahnya. Pertama kali beliau mengenyam pendidikan di `Ulmah Thoha, yaitu sebuah pendidikan yang diadakan di masjid Toha yang didirikan oleh datuknya Al-Habib Thoha bin Umar Assagaf di kota Sewun. Adapun guru yang mengajar beliau di tempat tersebut adalah As-Syaikh Thoha bin Abdullah Bahmed. ëUlmah Thoha adalah sebuah lembaga pendidikan sederhana yang didirikan atas dasar takwa dan keridhoan Allah, oleh karena itu tempat tersebut telah banyak mencetak orang-orang besar dan tokoh-tokoh ulama pada zaman itu. Di tempat itulah Al-Habib Abdul Qodir bersama anak-anak sebayanya tekun mendalami ilmu qowaidul kitabah, qiroah dan lain-lain, sehingga menjadi kuat dasar-dasar pengetahuannya serta fasih lisannya.

Al-Habib ëAbdul Qadir bin Ahmad as-Saqqaf mendapat pendidikan dari ayahanda beliau sendiri. Menurut cerita bahwa al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Saqqaf, telah mengkhatam ratusan buah kitab ketika usianya masih belasan tahun. Di didik oleh ayahanda beliau sendiri. Selain belajar dengan ayahandanya beliau juga belajar di Madrasah An-Nahdhoh Alíilmiyah di Kota Seiyun.

Di madrasah An-Nahdhoh Al-íIlmiyah ini, Al-Habib Abdul Qodir memperdalam berbagai macam ilmu, seperti ilmu Fiqih, Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Sastra Arab, Tarikh dan Tahfid Al-Quran. Manhaj madrasah ini adalah at-tazkiah (pensucian), at-tarbiyah (pendidikan) dan at-tarqiyah (keluhuran budi pekerti). Mudir (Kepala Sekolah) An-Nahdhoh waktu itu adalah As-Syaikh Al-Adib Ali Ahmad Baktsir. As-Syaikh Ali selalu memperhatikan kemajuan murid-muridnya, sampai-sampai murid-murid yang memiliki kecerdasan dan keunggulan di madrasah, beliau berikan kepada mereka pelajaran tambahan (privat) di rumahnya. Al-Habib Abdul Qodir juga mempelajari ilmu Qiroatus Sabíah dengan As-Syaikh Hasan Abdullah Barajaí setelah As-Syaikh Hasan pulang dari Makkah untuk memperdalam ilmu Qiroatul Qurían.

Selain mendapatkan pengajaran berbagai ilmu di madrasah tersebut, peran ayah beliau, Al-Habib Ahmad, dalam menggembleng beliau cukup besar. Bahkan yang didapatkan Al-Habib Abdul Qodir dari ayahnya lebih banyak daripada yang beliau dapatkan di madrasah. Hari-hari Al-Habib Abdul Qodir penuh dengan kegiatan belajar. Beliau pernah mengatakan bahwa sehari semalam, dalam satu atau dua jalsah dengan ayahnya, beliau bisa mengkhatamkan satu kitab. Dengan demikian waktu beliau menjadi berkah. Dalam waktu yang relatif singkat beliau telah menjadi seorang yang luas pengetahuannya dan luhur budi pekertinya.

Di antara keistimewaan madrasah An-Nahdhoh ini adalah meluluskan lebih awal murid-muridnya yang unggul untuk diperbantukan mengajar di situ. Di antara sekian banyak siswanya, terpilihlah Al-Habib Abdul Qodir untuk diluluskan dan diizinkan mengajar. Tentunya pilihan ini jatuh kepada Al-Habib Abdul Qodir bukanlah sesuatu yang mudah, tapi setelah mengalami proses yang cukup ketat. Ini semua adalah berkat kesungguhan niat beliau dalam belajar dan kegigihan ayah beliau dalam mengembleng, sehingga Al-Habib Abdul Qodir unggul dalam banyak hal di antara teman sebayanya.

Pada suatu saat Al-Habib Abdul Qodir mulai diperintahkan oleh ayahnya untuk mengisi pengajian umum yang biasa diadakan di masjid Thoha bin Umar Ash-Shofi. Dalam penyampaiannya, Al-Habib Abdul Qodir banyak menerangkan hal-hal yang sebelumnya tidak banyak diketahui orang. Dari situlah orang-orang yang hadir tahu bahwa beliau adalah penerus ayahnya dan pewaris sirr para datuknya. Dengan mengajar dan mengisi pengajian itulah, Al-Habib Abdul Qodir telah mencetak santri-santri yang berkualitas yang banyak bersyukur dan menyaksikan keunggulan beliau.

Diantara Guru beliau antara lain :
Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assaggaf (ayahnya),
Al-Habib Umar bin Ahmad bin Abdul Qodir Assaggaf,
Al-Habib Sholeh bin Muhsin Alhamid (Tanggul)
Al-Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus,
Syeikh Taha bin Abdullah BaHamid.
Syeikh Hasan bin ëAbdullah BaRaja, ketika di Madrasah an-Nahdhatul ëIlmiyyah. Dari guru beliau ini, beliau menghafal al-Quran serta menguasai Qiraíah as-Sabíah.
Al-Habib Umar bin Hamid bin Umar As-Saqqaf
Al-Habib ëUmar bin ëAbdul Qadir bin Ahmad as-Saqqaf
Al-Habib ëAbdullah bin Aidarus al-Aidarus
Al-Habib ëAbdullah bin ëAlwi al-Habsyi
Al-Habib Hussin bin ëAbdullah bin ëAlwi al-Habsyi
Al-Habib ëAbdul Baari bin Syeikh al-Aidarus
Al-Habib Muhammad bin Hadi as-Saqqaf
Al-Habib ëAbdullah bin Umar bin Hamid as-Saqqaf
Al-Habib Hasan bin Ismail bin as-Syeikh Abi Bakar bin Salim
Al-Habib Hamid bin ëAlwi al-Bar dan lainnya

Sepeninggal ayahnya

Setelah ayah beliau, Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman as-Seqqaf, yang meninggal dunia pada tahun 1357 H, maka para masyayikh dan tokoh Alawiyyin saat itu sepakat bahwa beliaulah penerus sang ayah, karena semua kebaikan yang ada pada diri Al-Habib Ahmad telah diwarisi oleh puteranya, Al-Habib Abdul Qodir. Saat itu beliau telah berusia 25 tahun. Semenjak itu, Al-Habib Abdul Qodir meneruskan apa-apa yang menjadi kebiasaan ayahnya.

Sebagaimana ayahnya, Al-Habib Abdul Qodir mengisi waktunya dengan belajar dan mengajar, serta menunaikan segala kewajiban. Beliau selalu mengumbar senyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Beliau suka menerima tamu dan membantu yang lemah dengan kemampuan yang dimilikinya. Diterangkan dalam kitab At-Takhlis Asy-Syafi’i, bahwa rumahnya adalah tumpuan para tamu dan beliau tidak pernah membedakan tamu-tamunya. Hampir-hampir terkesan beliaulah satu-satunya orang di kota Sewun yang memuliakan tamu dan gemar membantu orang-orang yang lemah kala itu. Selain itu beliau juga selalu menjaga hubungan silaturrahmi.

Karena ketinggian akhlak beliau itulah, menjadikan semua mata tertuju kepada Al-Habib Abdul Qodir, sehingga banyak orang ingin menimba ilmu
darinya. Dimana saja beliau mengajar atau mengisi pengajian, tempat tersebut penuh sesak oleh para hadirin. Setiap apa-apa yang beliau ucapkan, selalu menyentuh hati para pendengarnya.

Di tengah-tengah kesibukannya, Al-Habib Abdul Qodir menyempatkan diri duduk dengan para orangtua, ulama dan para pendidik, untuk membicarakan berbagai macam hal, baik keilmuan ataupun yang lainnya, serta menjalin rasa kasih sayang di antara mereka.

Di rumah beliau terdapat sebuah perpustakaan yang lengkap dan semua kitab tersebut telah dibaca oleh Al-Habib Abdul Qodir di hadapan ayahnya. Semasa hidup ayah beliau, Al-Habib Ahmad, jika mendengar atau melihat sebuah kitab dan kitab tersebut tidak ada dalam perpustakaannya, maka Al-Habib Ahmad menyuruh putranya, Al-Habib Abdul Qodir, untuk membaca dan mencatatnya, dan kemudian disimpan diperpustakaannya itu.

Sebagaimana ayah beliau sewaktu mudanya, Al-Habib Abdul Qodir suka membaca buku-buku sastra, sehingga menjadikan beliau seorang yang pandai membuat syair.

Beliau dikaruniai Allah dengan umur yang panjang, maka banyak ulama yang dapat mengambil faedah dari beliau. diantara murid-murid beliau adalah :
As-Sayyid Muhammad bin ëAlawi al-Maliki
al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Hadar
Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith
Al-Habib Salim bin ëAbdullah bin ëUmar asy-Syathiri
Al-Habib Abu Bakar al-Adni bin ëAli al-Masyhur
Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz ibn Syeikh Abu Bakar bin Salim
Al-Habib ëAli bin ëAbdurrahman al-Jufri
Al-Habib Muhammad bin ëAbdurrahman as-Saqqaf
al-Habib Abu Bakar bin Hasan al-Aththas
Teman-teman seperjuangan beliau yang telah pergi mendahuluinya antara lain :
Al-Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad
Al-Habib ëAbdurrahman bin Ahmad al-Kaf
Al-Habib Abu Bakar Atthas bin Abdullah al-Habsyi

Hijrahnya dari Hadramaut

Suatu saat terjadi perubahan negatif pada pemerintahan Yaman Selatan dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan dan upaya untuk menghapus
tradisi leluhur dan juga melakukan penekanan terhadap ulama. Para tokoh masyarakat diwajibkan melaporkan diri ke kepolisian 2 kali setiap hari saat pagi dan sore. Tidak sedikit dari mereka yang dibunuh. Kenyataan pahit ini mendorong banyak para tokoh ulama disana, di antaranya Al-Habib Abdul Qodir, untuk meninggalkan Yaman demi menyelamatkan agama dan budaya leluhurnya.

Dengan dibantu oleh seseorang yang dekat dengan pemerintahan, beliau mendapat izin untuk berhijrah ke kota Aden pada tahun 1393 H. Disana beliau mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tampak kegembiraan masyarakat Aden dengan kedatangan beliau. Di tengah-tengah kesibukannya berdakwah dan menghadiri majlis-majlis di kota Aden, beliau berupaya untuk berhijrah dari Yaman. Dengan ridho dan pertolongan Allah SWT, sebulan setelah kedatangannya di kota Aden, beliau berangkat menuju Singapura.

Di bandara Singapura, beliau disambut oleh banyak orang dan para tokoh Alawiyin saat itu, di antaranya adalah Al-Habib Muhammad bin Salim Al-Atthas dan As-Sayyid Ali Ridho bin Abubakar bin Thoha Assaggaf. Berbagai majlis diselenggarakan untuk menyambut kedatangan Al-Habib Abdul Qodir. Bahkan rumah tempat beliau tinggal penuh sesak oleh tamu yang ingin mengambil berkah dan menimbah ilmu dari beliau.

Pada tahun 1393 H / 1973 M beliau memutuskan memperluas medan dakwahnya ke luar negeri. Maka beliau pun berdakwah sampai ke Singapura.

Pada bulan Juli 1974 M/1393 H, Al-Habib Abdul Qodir meninggalkan Singapura menuju Jakarta. Di Indonesia beliau juga mendapat sambutan yang hangat dari para ulama dan masyarakat di Jakarta. Tokoh Alawiyin yang mendampingi kunjungan beliau di Jakarta antara lain As-Sayyid Salim bin Muhammad Al-Aidrus, Al-Habib Muhammad bin Umar Maulakheilah, Al-Habib Muhammad bin Ali Alhabsyi (Kwitang), As-Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Jawwas, As-Sayyid Abdurrahman bin Ahmad Assaggaf, Al-Ustadz Hadi bin Saíid Jawwas, dan lain-lain. Al-Habib Abdul Qodir menghadiri majlis taklim Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi yang diadakan setiap hari Minggu pagi di Kwitang dan berbagai majlis lainnya di Jakarta.

Pada tanggal 13 Jumadil Tsani 1393 H/Agustus 1974 M, Al-Habib Abdul Qodir berkunjung ke Surabaya. Di Surabaya beliau tinggal di rumah Al-Ustadz Ahmad bin Hasan Assaggaf di Jalan Sambas no. 3. Al-Ustadz Ahmad mengurus segala keperluan dan perjalanan Al-Habib Abdul Qodir ke berbagai kota di Jawa Timur. Selama Al-Habib Abdul Qodir di Surabaya, rumah Al-Ustadz Ahmad penuh dengan tamu yang datang dari berbagai kota. Al-Ustadz Ahmad melayani mereka dengan penuh sabar dan tulus, bahkan menyediakan kendaraan bagi para tetamu yang ingin ikut mengiringi perjalanan Al-Habib Abdul Qodir.

Di setiap tempat yang dikunjungi, Al-Habib Abdul Qodir tidak hanya berdakwah, namun menaruh perhatian besar pada keadaan kaum Alawiyin.
Setiap kota yang dimasuki, yang pertama ditanyakan oleh beliau adalah bagaimana keadaan Alawiyyin. Jika ada yang sakit, beliau mengunjunginya. Yang faqir, beliau santuni. Yang berselisih, beliau damaikan. Demikianlah aktivitas beliau sepanjang hidupnya, dimana saja beliau berada hingga akhir hayatnya.

Pada tahun yang sama, Al-Habib Abdul Qodir berhijrah dari Indonesia menuju Hijaz. Berbondong-bondong khalayak melepas kepergian beliau dengan penuh kesedihan dan air mata. Mereka menginginkan Al-Habib Abdul Qodir tetap tinggal di Indonesia. Demikian dalam kesedihan mereka hingga Al-Habib Abdul Qodir menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa beliau akan datang berkunjung kembali ke Indonesia setelah beliau berziarah dan mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada Nabi SAW di kota Madinah. Tak lama kemudian beliau juga sempat menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Atas permintaan beberapa ulama di Tanah suci, beliau bermukim selama beberapa waktu di Mekah, Madinah dan Jeddah untuk mengasuh majlis taklim. Beliau juga sempat berdakwah ke Zanzibar, Lebanon , Syria dan Mesir. Tapi belakangan beliau menetap di Jeddah.

Setiap kali beliau menyampaikan tausiah, selalu ada hal yang menarik. Misalnya ketika memberikan tausiah dalam sebuah rauhah, pengajian, di Jeddah pada 1411 H / 1990 M, ” Yang banyak menimpa manusia pada zaman akhir ini ialah Futurul Himah ( kevakuman hasrat ) dalam mencapai kemuliaan di sisi Allah swt.” Ujarnya.

Menurutnya, sesungguhnya himmah, kesungguhan hasrat, merupakan penuntun lahirnya taufik Ilahi, pertolongan Allah swt bagi hamba-Nya agar mampu melaksanakan ketaatan, sebagai pos bisyarah, kabar gembira. Jika seseorang memiliki keinginan, lalu bersungguh-sungguh mencapainya, segala kesulitan akan menjadi mudah. Allah swt pun akan menolong dengan maunah, pertolongan dan taufik-Nya.

Menurut Habib Abdul Qadir yang kini semakin melemah adalah kekuatan keimanan kita. ” Kebanyakan orang sekarang merasa berat bangun malam, lebih suka bermalas-malasan, ini semua jelas akibat bujuk rayu setan.” Katanya.

Dikatakan oleh Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya’roni : “Seseorang akan bisa mendengar ucapan Rasulullah SAW secara langsung tentulah ia telaj mencapai 79 ribu maqam dan berhasil menghilangkan 247 ribu hijab dalam hatinya.”

Sosok Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah. Suatu ketika ada seorang muhibbin datang kepada Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf seraya berkata :
“Wahai Habib, sudah bertahun-tahun aku ikut ta’lim denganmu. Dan sudah lama pula aku rindu ingin bertemu Rasulullah SAW. Namun hingga saat ini keinginanku tersebut belum dikabulkan Allah SWT. Aku ingin engkau berkenan menjadi wasilahku bertemu dengan Rasulullah SAW.”

Mendengar permohonan si muhibbin tadi, Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf mengajaknya ziarah ke makam Rasulullah SAW. Tatkala sudah tiba di makam Rasulullah SAW, beliau membaca salam dan beberapa awrad. Tak berapa lama Rasulullah SAW menjawab salam dari Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf. Bahkan Rasulullah SAW nampak keluar dari pusaranya yang mulia tersebut.

Mendengar jawaban salam dan melihat Rasulullah SAW, si muhibbin gemetar seakan tak bisa mengendalikan dirinya, serasa tubuhnya akan luluh lantak menatap keindahan wajah Rasulullah SAW. Akhirnya Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf memegangnya sehingga ia mampu mengendalikan dirinya.

Kini, tokoh Ahlus sunnah Wal Jamaah yang langka ini menjadi semacam azimat bagi kalangan Habaib dan Muhibin di Tanah air maupun di negeri-negeri islam lainnya.

(No 07 / Tahun III / 28 Maret ñ 10 April 2005 &No.15/ Tahun V / 16-29 Juli 2007)